Cinta dan Rindu Menjadi Azab saat Bencana Dipolitisasi
Oleh: Muhammad Hidayatullah, Lc., S.Ag
Istilah “azab” tentunya bukanlah hal yang asing terdengar di telinga. Lebih-lebih lagi saat datangnya musim bencana alam dan kampanye politik, saat itu istilah “azab” begitu seksi dibicarakan. Dari kalangan agamawan, elite politik, kalangan bawah, bahkan awam dan sebagainya.
Di dalam Al-Qur’ān al-Karīm, sebagaimana yang diungkap dalam kitab al-Mu`jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-Qur’ān al-Karīm karya Muḥammad Fu’ād `Abd al-Bāqī, setidaknya kata azabdisebut sebanyak 558 kali dalam 337 ayat dari 67 surat dengan sigah yang berbeda-beda. Di antara sighah yang dipakai antara lain: (Lihat: Al-Mu`jam al-Mufahras li al-Fāẓ al-Qur’ān al-Karīm, 553-559)
عَذَّبَ, أُعَذِّبُ, تُعَذِّبُ, نُعَذِّبُ, يُعَذِّبُ, العَذَاب, عذاب, مُعَذِّب, مُعَذَّب, عَذْب
Sepintas lalu, kebanyakan orang hanya mendefinisikan kata azab dalam ruang lingkup yang terbatas yakni dalam dimensi akidah atau kepercayaan, yang diartikan sebagai bencana/kemarahan dari Allah akibat suatu pelanggaran/pembangkangan yang dilakukan. Padahal, jika dilihat dari sisi kebahasaan, kata “azab” lebih luas mulai dari makna dasarnya. Apa lagi jika ditinjau makna relasionalnya dengan analisis sintagmatik dan pradigamatik, hingga penelusuran dari aspek sinkronik dan diakronik (berdasarkan teori semantik Izutsu) jauh lebih luas lagi. Tidak sampai di situ, ternyata kata azab memiliki sejarah dan perkembangannya tersendiri semenjak zaman Jahiliah (pra Qur’anik), Qur’anik, hingga pasca Qur’anik. Dari sejarah ini tentunya akan didapati makna yang berbeda-beda sesuai zaman dan konteks bahasanya.
Misalnya saja pada masa Arab Jahiliah atau pra Qur’anik (sebelum al-Qur’an diturunkan), kata “azab” sering dimaknai dengan perasaan kerinduan seseorang terhadap kekasihnya, atau sebuah kekecewaan seseorang atas penolakan rasa cinta yang didambakan. Hal ini bisa dibuktikan dengan membaca langsung lembar demi lembar kitab-kitab syair klasik Jahiliah. Salah satunya dalam karya Al-Nabighah Zuhair, al-Huthai’ah, ‘Antarah, al-Qamah, Imri’ al-Qays, al-A’sya, al-Harits, Lubaid Turfah, dll. Di antara syair-syair Jahiliah yang menyinggung soal kata “azab”, sebagaimana termaktub dalam kitab Dīwān Umru’ al-Qais (hlm. 29) berikut ini:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنْزل # بسقط اللّوى بيْن الدّخول فحومل
ألا عم صباحا أَيُّها الطّلل البالي # وهل يعمن من كان في العصر الْخالي
خليليّ مرّابي على أمّ جندب # لنقضي لبانات الفؤاد الْمعذّب
“Marilah kita berhenti sejenak, dan meratapi kasih di daerah Siqṭ al-Liwā, yaitu kota yang terletak antara kota Dakhūl dan Ḥaumal (karena kota tersebut dalam benakku mengandung makna khusus untuk mengenang peristiwa penting dan kenangan abadi yang terjadi antara aku dan kekasihku).”
“Hai tempat yang dahulu, lamakanlah masa pagimu, apakah si penghuni sekarang juga masih tetap seperti penghuni dahulu sebagaimana ku ketahui itu?”
“Kekasihku dahulu bernama Ummi Jundub, marilah kita semua berhenti sejenak di bekas tempat tinggalnya itu sebagai pelipur lara dan penghibur hatiku yang sedang duka lagi merindu.”
Adapun syair-syair di atas bercerita tentang perasaan kerinduan yang melanda seorang lelaki bernama Umru’ al-Qais terhadap kekasihnya Unaizah atau Fāṭimah yang sudah lama tidak bertemu. Ia kemudian terus mengingat kenangan-kenangan bersama yang pernah dilalui dengan segala hal yang bersangkutan dengannya. Kata al-mu`ażżab yang seakar dengan kata `ażāb dalam syair di atas dapat diartikan sebagai suatu kerinduan yang tak terbendung lagi menyiksa (berdasarkan konteks pembicaraan syair yang sebelumnya). Dari gaya bahasanya yang indah itu, tentu menunjukkan bahwa sang penyair sangat mengenal dan mendalami kejiwaan ihwal wanita.
Pun, demikian di dalam kitab Dīwān `Antarah karya `Antarah ibn Syaddād al-`Absy juga disenandungkan sebuah syair yang masih dalam konteks soal hati dan kerinduan yang berbunyi:
يا حمام الغصون لو كنت مثلي # عاشقا لم يرقك غصن رطيب
فاترك الوجد والهوى لمحبّ # قلبه قد أذابه التّعذيب
كلّ يوم له عتاب مع الدّهر # وأمر يحار فيه اللّبيب
“Wahai merpati ranting, seandainya engkau sepertiku yang senantiasa merindu tentu ranting yang basah tak akan mau didekati/dihinggapi olehmu.”
“Maka tinggalkanlah perasaan dan keinginan memiliki terhadap orang yang dicintai itu, di mana hatinya telah tertimpa siksaan/kerinduan.”
“Setiap hari ia tertimpa oleh celaan waktu dan orang-orang membicarakannya di setiap kali urusan.”
Bencana Alam Jadi Azab saat Dipolitisir
Tatkala bencana (alam), apalagi suasana politik sedang panas, tak jarang ditemukan kalimat: “ini adalah azab dari tuhan karena melanggar perintah-Nya” atau “Allah telah murka dan mengazab kepada kalian karena mendukung kelompok itu atau partai itu” dan sebagainya. Ada kecenderungan orang memaknai bencana dengan “azab”. Pemaknaan demikian terkesan serampangan dan mempolitisasi makna kata “azab” itu sendiri.
Meskipun demikian, berbeda dengan seorang mufasir Prof. Dr. Habib Muhammad Quraish Shihab ini. Dia tidak berani serta-merta mengatakan bahwa setiap bencana alam merupakan azab dari Allah. Tampaknya ia sangat berhati-hati dalam memahami dan menafsirkan kata “azab” itu. Dalam hal ini, Quraish Shihab lebih setuju menyebut bencana alam dengan istilah yang lebih halus yaitu fitnah bukan “azab”. Hal ini dikarenakan fitnah dapat menimpa siapa saja baik yang bersalah ataupun tidak bersalah. Di satu sisi fiṭnah diartikan sebagai siksaan bagi mereka yang melakukan kesalahan atau meninggal dalam keadaan kafir dan di sisi yang lain merupakan ujian bagi mereka yang mukmin atau tidak bersalah. (Lihat: Menabur Pesan Ilahi; Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, 401). Sepertinya, Quraish Shihab terlebih dahulu melihat konteks masing-masing ayat terkait “azab” dengan benar agar tidak disalahartikan.
Berbeda dengan Quraish Shihab, beberapa pihak lebih cenderung menggunakan makna kata “azab” sebagai bencana. Tidak berhenti sampai di situ, kata azab digunakan sebagai pendulang suara dengan mempolitisasi kata “azab” itu sendiri. Demi tujuan politik, kata “azab” dipolitisir untuk menjatuhkan lawan politik dalam memperebutkan kekuasaan saat-saat kampanye. Lontaran kalimat: “ini adalah azab dari tuhan karena melanggar perintah-Nya” atau “Allah telah murka kepada kalian karena mendukung kelompok, lambang dan partai itu berdasarkan firman-Nya……” sering kita dengar. Ini adalah bagian dari pemalingan makna kata “bencana” menjadi makna “azab” yang dilegitimasi narasi agama atas hawa nafsu untuk sekadar menyesatkan.
Terakhir, menyangkutpautkan bencana alam dengan azab untuk dukungan politik adalah sebuah kekeliruan. Berpolitik adalah suatu keniscayaan. Namun akan sangat keliru bila memanfaatkan dalil-dalil agama berupa ayat-ayat al-Qur’an dan hadis termasuk seputar “azab” sebagai alat politisasi untuk meraup dukungan dan menjatuhkan lawan. Politik seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan Islam bukan malah sebaliknya, yakni menggunakan agama untuk tujuan politik. []
Komentar
Posting Komentar