===Surat Cinta untuk Persatuan Tarbiyah Islamiyah===
Oleh: Muhammad Hidayatullah, Lc, S.Ag (Anak Siak Persatuan Tarbiyah Islamiyah) Hari ini, 5 Mei 2020 menandakan telah genap umur 92 tahunmu. Hari ini pula, telah ku lihat puluhan hingga ratusan, atau mungkin bahkan jutaan dinding medsos dipenuhi oleh nama dan lambang kebesaranmu. Jutaan ketikan jari dan ucapan selamat atas hari kelahiranmu itu telah melupakan kejamnya Corona yang sedang menyebar di negeri ini. Ya, aku memahami, hal itu terjadi karena besarnya cinta mereka kepadamu tanpa perlu terpecah dan terbagi. Jujur, aku telah mencintaimu dengan sepenuhnya. Seandainya engkau bertanya perihal ketulusan cinta dan pembuktiannya? Tentu menuliskannya tak semudah yang engkau kira. Tapi paling tidak, di setiap selesai solat ku kirimkan zikir dan al-fatihah untuk seluruh tokoh pendiri ulamamu dengan harap berkahlah semoga. Aku memang belum bisa berbuat apa-apa dalam melanjutkan "perjoeangan" mu. Tapi apakah aku tidak berhak berbangga atas nama kebesaranmu? Ya tentu saja "kebesaran" di zaman itu. Masih terekam kuat di kepala dan hati sanubariku, saat aku dan kawan-kawan seperjuangan berada dalam masa kebuntuan dan keputusasaan. Lalu tiba-tiba engkau datang dalam mimpiku membawa puluhan "Ulama" mu yang terlihat berjalan berombongan dengan satu bendera kebesaran di genggaman tangan. Mereka berjalan gagah berwibawa dengan mengenakan jas dan jubah kebesaran serta sorban dan sarung tanpa ketinggalan. Dalam mimpiku yang masih dalam keadaan suci dengan wudhu' itu aku melihat dan meyakini dengan seyakin-yakinnya (haqqul yaqin) bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) lah yang menjadi ketua rombongan. Mereka berjalan di hadapanku sambil sedikit melirikku kecuali Syekh Sulaiman yang terus berjalan tanpa menggelengkan kepala dan badan. Ketahuilah, bukan cerita tentang "aku yang bertemu dengan Ulama PERTI" dalam mimpi itu yang ingin aku utarakan. Akan tetapi semacan pesan yang mereka bawa untuk disampaikan. Entah untuk siapa dan harus dibagaimanakan selanjutnya. Aku juga bingung sebingung-bingungnya. Aku bersyukur, tak lama setelah mimpi tentangmu dan "Oelama" mu itu berakhir, berdirilah sebuah wadah organisasi kaum muda di level mahasiswa yang bernama Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI). Aku tak tahu apakah ini semacam salah satu pesan dalam mimpi itu ataukah bukan? Entahlah, yang terpenting bagiku ada berbagai cara untuk merealisasikan makna dari "Teroeskan Perjoeangan" itu. Dan aku juga bersyukur setelah sekian lama akhirnya makna dari mimpi itu terjawab melalui jawaban dari seorang Guru yang kupercayai keilmuan dan ke "ma'rifat" an keshufiannya. Alhamdulillah sesuai dengan yang aku harapkan. Mudah-mudahan, Insya Allah. Ohya, kembali kepada "surat cintaku" tadi. Duhai, Persatuan Tarbiyah Islamiyah !!! 5 Mei 1928 para Ulama atau Buya-Buya dari berbagai penjuru berkumpul di suatu tempat guna membicarakan pertahanan dan penyebaran kaji "Ahlussunnah wal Jamaah" di bumi Minangkabau. Mereka bersatu dalam ikatan persaudaraan yang begitu kuat tanpa memandang asal muasal dan golongan sebagai wujud penolakan terhadap kolonialisme serta upaya penyelesaian konflik keagamaan di tengah masyarakat yang kian merisau. Mereka rela mengorbankan pikiran dan tenaga asal agama dan adat budayanya terus lestari. Silau-menyilau, sapa-menyapa, kunjung-mengunjungi antar madrasah (baca: pesantren) dan keluarga adalah bagian dari tradisi yang terus membumi. Ratusan madrasah dan kitab-kitab karya tokoh dan ulamanya telah menghiasi kekayaan pendidikan, dakwah dan sosial di masa dulu hingga sekarang ini. Apatah lagi yang menjadi tokoh pejuang dan perumus kemerdekaan sudah tidak bisa dibilang lagi. Lalu, hari ini, di ulang tahunmu yang ke 92 tahun, masih pantaskah engkau menangis meratapi konflik masa lalu yang telah mengobrak-abrik kisah-kasih yang sudah engkau bangun puluhan tahun lamanya? Haruskah engkau terus diam dan bersikap apatis terhadap mereka yang berkhianat kepada janji puluhan tahun lamanya? Semua jawaban ku serahkan kepadamu seutuhnya. Pun, masing-masing kita punya zaman dan tantangan yang berbeda-beda. Tugas kita hanyalah berusaha dengan penuh keyakinan dan ketulusan, tentunya dengan tetap menghargai proses perjuangan. Bagaimana hasil akhirnya? Wallahu a'lam biar Yang Maha Kuasa menentukan. Ah, lagi-lagi tulisanku berantakan dan bahasa cintaku belum seromantis yang engkau harapkan. Terkahir, salam cintaku untukmu, duhai Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kembalilah ke madrasah-madrasahmu, ke "khittah" perjuanganmu. Semoga panjang umur, sehat selalu serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Aaamiin Karena tulisan ini dimulai dengan menghadiahkan pahala kepada seluruh Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah, maka sebaiknya juga diakhiri dengan hal yang sama. 'Ala Haazihin Niyyah wa 'ala kulli niyyatin shaalihah, Lahum Al-Faaaatihah......
Selasa, 05 Mei 2020
(Pasaman, Sumatera Barat)
Oleh: Muhammad Hidayatullah, Lc, S.Ag (Anak Siak Persatuan Tarbiyah Islamiyah) Hari ini, 5 Mei 2020 menandakan telah genap umur 92 tahunmu. Hari ini pula, telah ku lihat puluhan hingga ratusan, atau mungkin bahkan jutaan dinding medsos dipenuhi oleh nama dan lambang kebesaranmu. Jutaan ketikan jari dan ucapan selamat atas hari kelahiranmu itu telah melupakan kejamnya Corona yang sedang menyebar di negeri ini. Ya, aku memahami, hal itu terjadi karena besarnya cinta mereka kepadamu tanpa perlu terpecah dan terbagi. Jujur, aku telah mencintaimu dengan sepenuhnya. Seandainya engkau bertanya perihal ketulusan cinta dan pembuktiannya? Tentu menuliskannya tak semudah yang engkau kira. Tapi paling tidak, di setiap selesai solat ku kirimkan zikir dan al-fatihah untuk seluruh tokoh pendiri ulamamu dengan harap berkahlah semoga. Aku memang belum bisa berbuat apa-apa dalam melanjutkan "perjoeangan" mu. Tapi apakah aku tidak berhak berbangga atas nama kebesaranmu? Ya tentu saja "kebesaran" di zaman itu. Masih terekam kuat di kepala dan hati sanubariku, saat aku dan kawan-kawan seperjuangan berada dalam masa kebuntuan dan keputusasaan. Lalu tiba-tiba engkau datang dalam mimpiku membawa puluhan "Ulama" mu yang terlihat berjalan berombongan dengan satu bendera kebesaran di genggaman tangan. Mereka berjalan gagah berwibawa dengan mengenakan jas dan jubah kebesaran serta sorban dan sarung tanpa ketinggalan. Dalam mimpiku yang masih dalam keadaan suci dengan wudhu' itu aku melihat dan meyakini dengan seyakin-yakinnya (haqqul yaqin) bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) lah yang menjadi ketua rombongan. Mereka berjalan di hadapanku sambil sedikit melirikku kecuali Syekh Sulaiman yang terus berjalan tanpa menggelengkan kepala dan badan. Ketahuilah, bukan cerita tentang "aku yang bertemu dengan Ulama PERTI" dalam mimpi itu yang ingin aku utarakan. Akan tetapi semacan pesan yang mereka bawa untuk disampaikan. Entah untuk siapa dan harus dibagaimanakan selanjutnya. Aku juga bingung sebingung-bingungnya. Aku bersyukur, tak lama setelah mimpi tentangmu dan "Oelama" mu itu berakhir, berdirilah sebuah wadah organisasi kaum muda di level mahasiswa yang bernama Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI). Aku tak tahu apakah ini semacam salah satu pesan dalam mimpi itu ataukah bukan? Entahlah, yang terpenting bagiku ada berbagai cara untuk merealisasikan makna dari "Teroeskan Perjoeangan" itu. Dan aku juga bersyukur setelah sekian lama akhirnya makna dari mimpi itu terjawab melalui jawaban dari seorang Guru yang kupercayai keilmuan dan ke "ma'rifat" an keshufiannya. Alhamdulillah sesuai dengan yang aku harapkan. Mudah-mudahan, Insya Allah. Ohya, kembali kepada "surat cintaku" tadi. Duhai, Persatuan Tarbiyah Islamiyah !!! 5 Mei 1928 para Ulama atau Buya-Buya dari berbagai penjuru berkumpul di suatu tempat guna membicarakan pertahanan dan penyebaran kaji "Ahlussunnah wal Jamaah" di bumi Minangkabau. Mereka bersatu dalam ikatan persaudaraan yang begitu kuat tanpa memandang asal muasal dan golongan sebagai wujud penolakan terhadap kolonialisme serta upaya penyelesaian konflik keagamaan di tengah masyarakat yang kian merisau. Mereka rela mengorbankan pikiran dan tenaga asal agama dan adat budayanya terus lestari. Silau-menyilau, sapa-menyapa, kunjung-mengunjungi antar madrasah (baca: pesantren) dan keluarga adalah bagian dari tradisi yang terus membumi. Ratusan madrasah dan kitab-kitab karya tokoh dan ulamanya telah menghiasi kekayaan pendidikan, dakwah dan sosial di masa dulu hingga sekarang ini. Apatah lagi yang menjadi tokoh pejuang dan perumus kemerdekaan sudah tidak bisa dibilang lagi. Lalu, hari ini, di ulang tahunmu yang ke 92 tahun, masih pantaskah engkau menangis meratapi konflik masa lalu yang telah mengobrak-abrik kisah-kasih yang sudah engkau bangun puluhan tahun lamanya? Haruskah engkau terus diam dan bersikap apatis terhadap mereka yang berkhianat kepada janji puluhan tahun lamanya? Semua jawaban ku serahkan kepadamu seutuhnya. Pun, masing-masing kita punya zaman dan tantangan yang berbeda-beda. Tugas kita hanyalah berusaha dengan penuh keyakinan dan ketulusan, tentunya dengan tetap menghargai proses perjuangan. Bagaimana hasil akhirnya? Wallahu a'lam biar Yang Maha Kuasa menentukan. Ah, lagi-lagi tulisanku berantakan dan bahasa cintaku belum seromantis yang engkau harapkan. Terkahir, salam cintaku untukmu, duhai Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kembalilah ke madrasah-madrasahmu, ke "khittah" perjuanganmu. Semoga panjang umur, sehat selalu serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Aaamiin Karena tulisan ini dimulai dengan menghadiahkan pahala kepada seluruh Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah, maka sebaiknya juga diakhiri dengan hal yang sama. 'Ala Haazihin Niyyah wa 'ala kulli niyyatin shaalihah, Lahum Al-Faaaatihah......
Selasa, 05 Mei 2020
(Pasaman, Sumatera Barat)
Komentar
Posting Komentar